Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Kisah ini mengenai kegigihan sepasang orang tua yang mengusahakan biaya pendidikan anak-anaknya hingga tamat sekolah tingkat atas.
Suratmo (67) dan istrinya, Wartinah (52) adalah sosok yang menginspirasi bagi orang tua lainnya.
Bagaimana kegigihan sepasang suami ini yang tak ingin menyerah dengan keadaan demi ketiga anaknya agar mendapatkan pendidikan yang layak.
Warga Prenggan Utara, Kotagede, Yogyakarta tersebut hanyalah pedagang warung angkringan.
Sudah cukup lama Suratmo dan istrinya berjualan angkringan di depan rumah mereka.
Warung yang tepat di depan Asrama Putra Nurul Ummah, Prenggan Utara, Kotagede tersebut adalah mata pencaharian mereka untuk menghidupi keluarga.
Awalnya, Suratmo adalah pengrajin kancing suweng (anting-anting), namun pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada dekade tahun 90-an membuatnya harus gulung tikar.
"Terus kan ada krismon (krisis moneter) itu, terus sepi order yang kancing suweng (anting-anting)," ujar Suratmo saat ditemui di warung angkringanya, di Prenggan Utara, Kotagede, Kota Yogyakarta, Jumat (27/09/2019), dikutip dari Kompas.com.
Ia kemudian mencoba peruntungan dengan berdagang gorengan di pinggir lapangan Karang, Kotagede, Yogyakarta.
Ia juga pernah menjajal menjadi penjual bubur dan nasi di depan rumahnya, namun usaha tersebut tidaklah cukup untuk menghidupi keluarga.
Hal itu dilakukannya seiring dengan lahirnya anak ketiga. Sementara saat itu, anak pertamanya masih duduk di SMK dan anak kedua SMP.
Pasangan Suratmo dan Wartinah dikarunia tiga anak, anak pertama lahir tahun 1984, anak kedua lahir 1988 dan anak terakhir lahir tahun 2001.
"Anak pertama (lahir tahun) 84, anak kedua 88 anak ketiga itu 2001," ungkapnya, dikutip dariKompas.com.
Penghasilanya berjualan bubur dan nasi yang tidak menentu membuat Suratmo ikut bekerja sebagai tukang bangunan.
Saat menjadi tukang bangunan itu, ia kepikiran untuk membuka warung angkringan.
Uang hasil bekerja sebagai tukang bangunan itulah yang digunakannya sebagai modal awal membuka angkringan.
"Saya beberapa hari jadi tukang itu dapat uang Rp 20.000. Terus saya bilang ke istri, tolong ke pasar beli bahan-bahan, nanti sore saya mau buka angkringan," urainya, dilansir dari Kompas.com.
Keterbatasan ekonomi membuat Suratmo dan Wartinah harus berpikir panjang untuk bisa mencukupi biaya keluarga termasuk bayaran sekolah anak-anak mereka.
Sebab Suratmo menyadari biaya sekolah terhitung tinggi, sementara pendapatanya dari warung angkringan tidak menentu.
Bapak tiga orang anak ini akhirnya memutuskan untuk mulai menyisihkan penghasilannya demi biaya pendidikan anak-anaknya.
"Waktu itu menabung uang kertas. Uang saya taruh di antara koran, tiga bulan tidak dibuka, waktu saya buka itu uang Rp 5.000 tinggal angkanya," katanya, mengutip dari Kompas.com.
Mulai dari situlah Suratmo mengumpulkan uang koin.
Bahkan ia hanya mampu kumpulkan uang koin pecahan 100 dan 500 perak saja kala itu.
Ia membuat wadah penyimpanan uang koin dari kaleng bekas oli.
"Saya mengumpulkan koin karena mampunya itu. Ya, kalau jualan laris Rp 1.000, kalau lagi sepi Rp 500, yang penting setiap hari," ungkapnya, melansir dari Kompas.com.
Menurut Suratmo, dilihat dari nominalnya, memang itu hanya uang koin Rp 100 atau Rp 500.
Tetapi kalau rajin dikumpulkan setiap hari, maka bisa untuk membayar sekolah.
Dari uang receh itulah ia dapat membayar biaya pendidikan anak-anaknya dari anak kedua hingga anak ketiga yang saat ini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Suratmo menceritakan bagaimana kisahnya membayar uang sekolah anak kedua dan anak ketiganya menggunakan uang koin hasil tabungannya tersebut.
Bahkan ketika sudah terkumpul banyak dan siap untuk digunakan membayar biaya sekolah, Bapak tiga anak tersebut enggan menukarkan uang koin tersebut dengan uang kertas.
"Tidak saya tukarkan, ya apa adanya, tapi saya lupa berapa waktu itu. Uang koin ini kan uang resmi, jadi ya diterima," ungkapnya, dikutip dari Kompas.com.
Yang terakhir, belum lama ini Suratmo juga membuka celengan uang koinnya untuk membayar biaya sekolah Tri Ratna Handayani Pamungkas, anak ketiga dari pasangan pedagang angkringan tersebut.
Ratna saat ini duduk dibangku sekolah menengah kejuruan (SMK) di Yogyakarta.
Uang yang terkumpul kemarin mencapai Rp 1,2 juta untuk biaya sekolah Ratna, anaknya.
"Uang koin itu saya masukan ke plastik, terus saya serahkan ke sekolah. Dulu waktu daftar masuk pertama juga saya bayarnya dengan uang koin," bebernya, dikutip dari Kompas.com.
Ia membawa uang koin tersebut dalam sebuah plastik, bahkan pernah Suratmo membawa uang koin ke sekolah dengan kardus.
Baginya, pendidikan adalah sesuatu yang penting. Karenanya, ia dan istrinya selalu berusaha keras agar anak-anaknya tetap bisa sekolah.
"Agar pandai, masa depanya lebih baik, hidupnya lebih baik. Jadi sesulit apa pun, saya berusaha agar anak tetap sekolah," katanya, dikutip dari Kompas.com.
Pasangan suami istri ini juga tak pernah memaksa ketiga anaknya untuk membantu usaha mereka berjualan angkringan.
Mereka beranggapan tugas anaknya adalah belajar sehingga fokus pendidikan yang diutamakan oleh kedua orang tua ini kepada anaknya.
"Mereka juga tidak pernah rewel minta ini, minta itu. Sekarang dua anak saya sudah kerja, saya tidak pernah meminta tapi mereka sering membantu," tuturnya, dikutip dari Kompas.com.
Sampai saat ini, pasangan orang tua ini masih mengumpulkan uang koin, sebab anak ketiga mereka masih duduk di bangku sekolah.
Ia juga tak memaksa anaknya akan lanjut kuliah atau langsung bekerja seusai lulus dai SMK.
"Saya akan tanya apakah mau lanjut kuliah atau kerja. Kalau mau kuliah, ya akan saya biayai demi masa depan anak," pungkasnya, dikutip dari Kompas.com. (*)