Hingga saat ini Hemsi masih menunggu keputusan Mahkamah Agung terkait konflik lahan yang berlarut-larut tersebut menurut Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono.
Sejak 2006, Hemsi menghadapi pembabatan habis tanaman coklat, jagung, hingga kelapa sawit di lahan seluas dua hektare miliknya.
Tahun 2007, Pengadilan Negeri Mamuju memutuskan bahwa lahan warga Desa Panca Mukti berada di luar wilayah pemegang Hak Guna Usaha (HGU) PT Mamuang.
Namun Hemsi mengaku masih menghadapi intimidasi pada 2010.
Menurut penuturan Hemsi, dia dan dua anggota kelompok tani lainnya bahkan sempat dijebloskan ke penjara dan dilepas begitu saja tiga bulan kemudian tanpa melewati proses pemberkasan.
Selama periode 2015-2015, menurut Hemsi, kelompoknya juga harus berhadapan dengan sekelompok preman.
"Saya lawan lagi. Ini dari 10 jari yang saya usahakan sendiri," kata Hemsi, menggambarkan bagaimana dia menggarap dan berusaha mempertahankan lahannya.
Tahun 2017, Hemsi ditangkap dengan tuduhan melakukan perusakan dan tandan buah sawit yang dia panen ikut diangkut.
Dia melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Sektor Pasang Kayu di Provinsi Sulawesi Tengah dan Kepolisian Sektor yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Barat.