"Sekitar tiga tahun lalu, tepatnya pada 2016, kami akhirnya mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan kepada Australia dan PTTEP, perusahaan minyak asal Thailand yang mengelola anjungan Montara di Pengadilan Federal Australia," katanya kepada Antara di Kupang, Minggu (29/12/2019).
Mantan agen Imigrasi Australia itu menambahkan persidangan atas kasus tersebut sampai saat ini masih terus berjalan di Pengadilan Federal Australia di Syndey.
Tanoni berharap Kemenko Maritim dan Invenstasi di bawah kendali Luhut Pandjaitan segera mengambil sikap pada Januari 2020 untuk menyelesaikan kasus minyak Montara secara tuntas.
Ia mengatakan jika skenario tersebut terwujud maka Presiden Jokowi dengan segera menyurati Perdana Menteri Australia Scott Morrison untuk mengambil langkah guna mengakhiri kasus Motara yang sudah 10 tahun berjalan, namun tak pernah mengenal kata akhir ini.
Kasus minyak Montara di Laut Timor adalah masalah besar bangsa Indonesia yang harus mendapatkan perhatian utama dan serius dari Pemerintahan Jokowi dalam upaya penyelesainnya.
"Jika dalam waktu sebulan ke depan PM Australia Scott Morrison tidak menanggapi surat Presiden Jokowi atau menjawabnya secara abu abu, maka kasus ini akan segera kami bawa ke International Court of Justice (ICJ) atau ke International for The Law Of the Sea (ITLOS)," katanya.
Sebab kasus pencemaran minyak di Laut Timor ini, kata Tanoni menegaskan tidak berdimensi politik, tetapi semata-mata hanya masalah kemanusiaan dan lingkungan.
"Kami sangat optimistis akan memenangkan perkara ini dengan menggugat pemerintah Federal Australia di PBB untuk membayar ganti rugi sebesar 15 miliar dolar AS kepada rakyat NTT yang menderita," kata Tanoni.
(*)
Source | : | Kompas.com,ANTARA |
Penulis | : | Candra Mega Sari |
Editor | : | Candra Mega Sari |
Komentar