Biasanya harus ada sejumlah pasangan dulu, putera-puteri Sultan, yang kemudian dinikahkan bersama-sama.
Jumlah pasangan harus genap, dua pasang atau empat pasang, dan seterusnya. Tapi tidak boleh ganjil.
Dan pernikahan itu pun tergantung dari perkenan Ngerso Dalem (sebutan hormat untuk sultan atau raja yang waktu itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Red) kapan pelaksanaannya.
Yang datang melamarkan adalah Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kami, saat itu sudah pindah rumah dari Kebayoran ke kawasan Cipete, betul-betul terperanjat.
Ini aneh, di luar tradisi. Biasanya yang datang melamarkan adalah utusan Keraton. Bukan rajanya sendiri yang langsung turun tangan.
Kemudian saya timbang-timbang. Sultan Hamengku Buwono IX datang sendiri dengan alasan praktis saja.
Yakni, karena saya hidup di Jakarta, dan pada saat itu beliau juga menetap di Jakarta sebagai pejabat tinggi negara.
Beliau datang tanpa pengawal, tanpa ribut-ribut yang menarik perhatian tetangga.
Setelah itu, beberapa waktu kemudian, datang rombongan yang lebih besar, yakni saudara-saudara Mas Herjuno.
Mereka datang sebagai utusan, membawa benda-benda simbol yang diperlukan untuk upacara lamaran dari Keraton Yogyakarta.
Komentar