Dari sana ia naik becak ke Kebayoran, rumah saya. Konyolnya lagi, tukang becak itu hanya tahu sedikit di mana Kebayoran, hingga ia tak bisa membayangkan jarak sekitar 20 kilometer antara Kota-Kebayoran.
Ngos-ngosan ia menggenjot becaknya sampai harus berhenti 4 kali untuk istirahat! Antara Iain di depan gedung Sarinah, Jalan Thamrin.
Mendengar itu saya terbahak-bahak. Setelah hubungan kami kian dekat, saya selalu menjemput setiap kali Mas Herjuno datang.
Karena sering ke Jakarta, ini antara lain yang membuat kuliah Mas Herjuno di Yogya berantakan.
Ia baru menggondol gelar sarjana hukum setelah anaknya 2, setelah nyaris menjadi mahasiswa abadi.
Dilarang terjun payung
Masa remaja saya lalui dengan kepuasan sebagaimana yang dihirup kaum muda kebanyakan. Suka, duka, konyol, semuanya menyatu dan sekarang membentuk kenangan indah.
Sebuah peristiwa konyol semasa mahasiswa, sampai hari ini masih saya ingat, yakni ketika Ibu melarang saya ikut terjun payung, justru di hari saya dijadwalkan terjun untuk pertama kalinya.
Saya sangat kecewa karena sudah capai-capai ikut latihan dan sudah bermimpi memeluk langit.
Sebaliknya, Ibu kaget sekali karena baru tahu kalau saya selama itu sudah ikut latihan terjun. Memang, saya tak pernah memberitahu beliau.