Marilah kita pacaran
Kurang-lebih setahun kemudian, saya datang lagi ke Yogya. Kali ini dengan penuh duka, karena Eyang meninggal dunia. Pada kejadian itulah, saya untuk ketiga kalinya bertemu Mas Herjuno.
Ia datang melayat. Tapi tidak cuma itu. Ia juga meminjami berbagai keperluan, seperti karpet dan kendaraan.
Ia pun bekerja keras, mengatur ini-itu dalam perkabungan tersebut. Di kemudian hari saya menebak, inilah langkah awal Mas Herjuno mengambil hati saya.
Ketika itu saya duduk di kelas 2 SMA. Inilah salah satu masa puncak kebadungan saya.
Bepergian jarang pakai rok, selalu celana panjang. Dan, seperti sebelumnya sudah saya ceritakan, saya sering pindah-pindah sekolah.
Tapi justru di sinilah Mas Herjuno memperlihatkan keterusterangannya. Ia meminta saya bersedia menjadi pacarnya.
Hubungan kami pun kian lekat. Interlokalnya dari Yogya acap berdering di rumah saya di Jakarta. Ia pun beberapa kali pergi ke Jakarta mengunjungi saya.
Tapi saya tak habis pikir, ia selalu datang bersama teman-temannya. Dulu ia bilang mengajak saya pacaran, tapi kemudian kok datang beramai-ramai.
Beberapa bulan kemudian, ia baru berani datang sendirian.
Dulu, Mas Herjuno pergi ke Jakarta sering kali naik bus atau kereta api. Ia, waktu itu, betul-betul putra daerah yang sangat tidak tahu peta Jakarta.
Komentar