Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari
Gridhot.ID - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko) Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu lalu mengeluarkan sebuah statement yang cukup mengejutkan.
Luhut mengatakan bahwa virus corona atau covid-19 tak kuat bertahan di cuaca panas seperti di Indonesia.
Cuaca di Indonesia sendiri memang cenderung panas.
Melansir Kompas.com, hal tersebut disampaikan Luhut seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo melalui sambungan konferensi video, Kamis (2/4/2020).
"Dari hasil modelling kita yang ada, cuaca Indonesia, ekuator ini yang panas dan juga itu untuk Covid-19 ini enggak kuat," kata Luhut.
Meski demikian, Luhut mengatakan, bukan berarti masyarakat Indonesia tak memberlakukan aturan jaga jarak karena diuntungkan faktor geografis dalam menghadapi wabah Covid-19.
Ia mengatakan, kedisiplinan untuk menjalankan aturan jaga jarak, menghindari kerumunan, dan tetap beraktivitas di rumah tetap wajib dilakukan untuk memutus mata rantai penularan virus corona.
Ia mengatakan, jika masyarakat tak disiplin menjalankan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maka wabah Covid-19 di Indonesia tak akan selesai.
"Kalau tadi jaga jarak tidak dilakukan, itu juga jadi tidak berarti. Sekarang ini tinggal tergantung kita, kita mau bagaimana semua. Dengan menjaga jarak itu, itu akan sangat membantu," tutur Luhut.
"Karena dari hasil studi dengan modelling yang dibuat baik oleh teman-teman di UI, di UGM, di ITB, di BSSN, itu semua menyimpulkan bahwa jaga jarak sangat penting kalau kita mau selesaikan ini," kata dia.
Pernyataan Luhut tersebut rupanya berdasarkan kajian dari Tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.
Dilansir Gridhot dari akun Twitter terverifikasi @infoBMKG, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, membenarkan bahwa Tim BMKG yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika,
serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, telah melakukan Kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran Covid-19.
Hasil kajian tersebut rupanya telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri.
Ia mengklaim adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah covid-19.
Bahkan tertulis pula sejumlah penelitian yang sepertinya membahas hal serupa.
Disebutkan bahwa berdasarkan hasil analisis Sajadi dan teman-temannya (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) menunjukkan bahwa sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate.
Oleh karenanya, berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.
Sementara itu, penelitian Chen dan teman-teman (2020) dan Sajadi berserta kawannya (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8-10 °C dan kelembapan 60-90%.
Hal tersebut berarti bahwa pada lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
Berdasarkan hal itulah peneliti menyimpukan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19.
Penelitian oleh Bannister-Tyrrell dan rekan-rekannya (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1 °C) dengan jumlah dugaan kasus COVID-19 per-hari.
Penelitian Bannister-Tyrrell dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa virus corona mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1–9 °C).
Berdasarkan hal tersebut berarti semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah.
Selain itu, penelitian Wang dan rekan-rekannya (2020) juga menjelaskan bahwa serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering.
Menurut penelitian Wang, udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan "host immunity" seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus.
Hal serupa disampaikan pada penelitian Araujo dan Naimi (2020).
Mereka memprediksi dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, mereka menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.
Mereka bahkan menjelaskan secara lebih lanjut bahwa terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil.
Oleh karena itu penularan virus Corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.
Hal serupa juga disampaikan oleh Tim Gabungan BMKG-UGM.
Melalui akun Twitter @infoBMKG, mereka menjelaskan bahwa berdasarkan analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi.
Namun hal tersebut bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang kedua.
Tim gabungan itu juga menyampaikan bahwa kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk menjadi tempat berkembangnya wabah covid-19.
Berdasarkan kajian literatur tersebut, Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95%, sebenarnya bukan merupakan lingkungan yang ideal untuk outbreak COVID-19.
Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020.
Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, dibandingkan dengan faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.
Oleh karena memasuki bulan April sampai Mei sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah Tim BMKG-UGM merekomendasikan pada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas.
(*)