Dia mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan ganda yang berbahaya dan memulai perang salibnya untuk memberi tahu orang-orang tentang genosida yang telah sebagian besar telah tersembunyi dari pandangan dunia selama 24 tahun.
Sejak melarikan diri dari Timor Timur pada tahun 1994, Galhos telah berbicara kepada khalayak di Amerika Utara, Eropa dan Australia tentang kengerian yang diderita negaranya sejak diserang oleh Indonesia pada tahun 1975, ketika ia berusia tiga tahun.
Dia juga telah melobi pejabat di Amerika Serikat dan Kanada untuk mengakhiri keterlibatan pemerintah mereka dalam apa yang disebut sebagai genosida terburuk, per kapita, sejak Holocaust Eropa.
Sekitar 200.000 orang Timor - sepertiga dari populasi sebelum invasi - diduga telah meninggal akibat pendudukan ilegal Indonesia di bekas jajahan Portugis, yang dimulai kurang dari 24 jam setelah kunjungan kenegaraan resmi ke Jakarta oleh Presiden AS saat itu Gerald Ford dan sekretaris negaranya, Henry Kissinger.
"Saya menganggap diri saya salah satu yang beruntung. Ada ratusan ribu orang Timor Leste yang tidak dapat berbicara tentang apa yang mereka alami selama 24 tahun terakhir," kata Galhos dalam pidatonya di Yonago, Jepang.
Mengutip Japan Times, dua adik laki-laki Galhos tidak seberuntung itu. Mereka berdua dibunuh saat masih anak-anak oleh tentara Indonesia.
"Alasan saudara laki-laki saya terbunuh adalah karena mereka menangis karena kelaparan," katanya Galhps.
Source | : | Intisari Online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Siti Nur Qasanah |
Komentar