Seperti yang diamati oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Uskup Carlos Belo, "Dengan begitu banyak yang tewas, kami tidak memiliki masalah populasi di sini."
Pada tahun 1994, Uskup Belo melaporkan bahwa perempuan desa menjadi sasaran "program sterilisasi sistematis" di klinik desa yang berada di bawah pengawasan pos militer.
Pengalaman Galhos membawanya untuk mulai bekerja dengan perlawanan pada tahun 1989, ketika dia berusia 17 tahun.
Pada tahun 1991, ia menjadi anggota resmi gerakan kemerdekaan klandestin, dan sejak saat itu ia mendorong wanita lain untuk bergabung.
Pada November 1991, dia membantu mengorganisir demonstrasi damai untuk memprotes pembunuhan seorang pemuda Timor oleh Tentara Indonesia.
Setelah demonstran berbaris ke pemakaman di Dili, ibu kota Timor Leste, pasukan Indonesia tiba-tiba melepaskan tembakan, menewaskan sedikitnya 271 orang.
Setelah pembantaian tersebut, Galhos harus berpura-pura setia kepada pemerintah Indonesia.
Untuk melindungi dirinya dan keluarganya, dia mendaftar ke korps pemuda militer Indonesia dan bertugas di dalamnya selama tiga tahun sambil terus aktif dalam perlawanan bawah tanah.
Pelarian Galhos dari Timor Leste terjadi sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke-22.
Setelah sebulan diinterogasi dan dilatih di kamp militer di Timor Leste, dia terpilih untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam Program Pertukaran Pemuda Dunia Kanada.