Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Senin (2/11/2020), empat tersangka kasus dugaan suap terkait penghapusan red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra menjalani sidang.
Sidang yang dijadwalkan pukul 11.00 WIB di Pengadilan Tipikor, Jakarta, tersebut beragendakan pembacaan dakwaan.
Melansir TribunJabar.id, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo disebut berebut jatah uang suap penghapusan Red Notice terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
Hal itu terungkap saat jaksa penuntut umum (JPU) membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Jaksa penuntut umum mengungkap adanya permintaan uang tambahan oleh Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte untuk menghapus nama terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari Daftar Pencarian Orang (DPO)
Hal itu tertuang dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Menurut jaksa, bahwa uang suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus namanya di Daftar Pencarian Orang (DPO) dilakukan di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Perantara Djoko ialah pengusaha H Tommy Sumardi.
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik, Ji, jadi 7, Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," ucap jaksa penuntut umum Zulkipli saat sidang.
Napoleon mengungkapkan hal tersebut saat bertemu dengan terdakwa lain, Tommy Sumardi dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo di ruang kerjanya pada 27 April 2020.
Tommy merupakan rekan Djoko Tjandra yang diminta untuk menanyakan status red notice kepada NCB Interpol Indonesia di Divisi Hubungan Internasional Polri.
Untuk mengurusnya, Tommy meminta bantuan kepada Prasetijo yang kemudian mengenalkan kepada Napoleon.
Awalnya Napoleon meminta uang sebesar Rp 3 miliar untuk mengurus red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra. Maka dari itu, Djoko Tjandra menyerahkan uang 100.000 dollar AS kepada Tommy melalui perantara pada 27 April 2020.
Di hari yang sama, Tommy bersama Prasetijo berangkat untuk menyerahkan uang kepada Napoleon. Ternyata, Prasetijo juga meminta jatah dan membagi uang 100.000 dollar AS tersebut.
"Saat di perjalanan di dalam mobil, Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan,'Banyak banget ini, Ji, buat beliau? Buat gue mana?’,” tutur jaksa.
"Dan saat itu uang dibelah 2 oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan, 'Ini buat gue, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua'," ucapnya.
Setelah Napoleon menolak uang 50.000 dollar AS dan meminta dalam jumlah yang lebih besar, Tommy dan Prasetijo meninggalkan Mabes Polri.
Setelah itu, terjadi beberapa kali penyerahan uang dari Djoko Tjandra kepada Napoleon melalui Tommy.
Dalam kasus ini, Napoleon didakwa menerima uang sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 6,1 miliar.
Sementara, Prasetijo didakwa menerima 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar.
Dilansir dari Kompas.com, Polri mengungkapkan, pernyataan Irjen Napoleon Bonaparte yang meminta Rp 7 miliar kepada Djoko Tjandra untuk “petinggi kita” tidak ada dalam berita acara pemeriksaan ( BAP).
Permintaan Napoleon itu terungkap dalam dakwaan yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
“Faktanya yang bersangkutan (Napoleon) sewaktu diperiksa menjadi tersangka oleh penyidik, kalimat itu tidak ada, jawaban itu tidak ada,” kata Kepada Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (3/11/2020).
Menurut Awi, jaksa penuntut umum (JPU) berhak memeriksa tersangka apabila ada yang perlu didalami saat membuat surat dakwaan.
Ia pun mempertanyakan mengapa Napoleon tidak mengungkapkan hal tersebut ketika diperiksa oleh penyidik sebagai tersangka.
Awi mengungkapkan, penyidik dipastikan akan mendalami informasi apabila diungkapkan saat pemeriksaan.
“Kalau di dalam proses penyidikan yang bersangkutan di-BAP bunyi demikian, pasti penyidik akan mengejar keterkaitan kesaksian dari saksi-saksi yang lain maupun jawaban-jawaban tersangka sendiri, pasti akan dikejar,” tuturnya.
Lebih lanjut, Awi menuturkan, pihaknya akan melihat proses persidangan lebih lanjut. (*)