Ia mengatakan hambatan itu karena belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," tuturnya.
Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan bahwa Jaksa Agung bersalah.
Dilansir dari Kompas.com, Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin.
Gugatan tersebut terkait pernyataan Burhanuddin pada Januari 2020 yang mengatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Majelis hakim menyatakan penyampaian Jaksa Agung terkait hal tersebut sebagai perbuatan melawan hukum.
“Adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan,” demikian bunyi putusan yang diterima dari pihak kuasa hukum pemohon, Rabu (4/11/2020).