Saat itu, Arief mengaku hadir di PTUN sekadar memberikan dukungan moral, simpati dan empati yang didasaarkan pada rasa kemanusiaan sebab telah lama bersahabat dengan Evi.
Arief beralasan pada hari tersebut sedang work from home atau WFH. Karena itu, kedatangannya di PTUN tidak dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU.
Menanggapi alasan tersebut, Didik mengatakan pihaknya memahami ikatan emosional itu karena terbangun dari kesamaan profesi dan merintis karier dari bawah sebagai penyelenggara pemilu, hingga akhirnya keduanya sama-sama terpilih dan duduk sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
Namun demikian, ikatan emosional tersebut tidak sepatutnya mematikan kode etik dalam melakoni aktivitas individualnya.
"Karena di dalam diri teradu melekat jabatan ketua KPU merangkap anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapapun kecuali ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu," ucapnya.
Dalam kedudukannya sebagai Ketua dan anggota KPU, kata Didik, seharusnya Arief dapat menempatkan diri pada tempat dan waktu yang tepat di ruang publik.
Juga dan tidak terjebak dalam tindakan dan perbuatan yang bersifat personal emosional yang menyeret lembaga hingga berimplikasi pada kesan pembangkangan, tidak menghormati keputusan DKPP Nomor 317 yang bersifat final dan mengikat.
Selain itu, sikap Arief juga bertentangan dengan kode etik. Menurut Didik, DKPP menilai sikap Arief tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang secara negatif.
"Karena jabatannya tidak terpisahkan dan tetap senantiasa melekat pada setiap perbuatan teradu di ruang publik," ucap Didik.
Pengadu mendalilkan Arief telah membuat keputusan yang diduga melampaui kewenangannya yakni menerbitkan Surat KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020.