Gridhot.ID-Belakangan ini Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto sedang gencar-gencarnya memperbaiki alutsista TNI.
Salah satu caranya adalah melakukan pembuatan alutsista dengan menggandeng negara luar.
Namun, baru-baru ini justru dikabarkan pihak oposisi di Korea Selatan tengah mengkritik habis-habisan pemerintah negaranya terkait kerja sama Indonesia-Korea Selatan, Korea KF-21.
Mereka sampai menyebut negaranya telah melakukan negosiasi pasif dengan pemerintah Indonesia terkait program jet tempur tersebut.
Kekhawatiran yang paling membuat mereka resah adalah kemungkinan terjadinya hambatan bahkan keterlambatan dalam proses pembayarannya.
Bahkan, mereka sampai menyebut negaranya harus menggunakan akal sehat terkait masalah ini.
DIlansir dari Intosari-Online, proyek jet tempur KF-21 sendiri digadang-gadang sebagai proyek pengembangan senjata terbesar dalam sejarah militer Indonesia dan Korea Selatan.
Tentu saja label 'terbesar' tersebut akan diiringi dengan biaya yang sangat besar dalam upaya mewujudkannya.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak diminta untuk membayar penuh, melainkan 'hanya' 20 persen dari total biaya pengembangan tersebut.
Sayangnya, dalam kondisi pandemi yang kini menerjang hampir seluruh Nusantara, Indonesia 'keteteran' untuk memenuhi kewajibannya.
Hal inilah yang pada akhirnya membuat pihak oposisi Korea Selatan, seperti dilaporkan olehRep. Kang Dae-shik,dari Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Minggu (10/10/2021).
Mereka mendesak Indonesia untuk segera menyelesaikan penyusunan perjanjian akhir yang telah disusun saat Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo melakukan kunjungan ke Korea Selatan pada April lalu.
Dalam perjanjian tersebut, Prabowo meminta pengurangan prosi kontribusi Indonesia dalam proyek tersebut.
Selain itu, Prabowo juga meminta dilakukannya penyesuaian metode pembayaran, berikut dengan perpanjangan jangka waktu pembayarannya.
Sayangnya, lima bulan berselang dari terjadinya kesepakatan baru tersebut, Indonesia dinilai belum melakukan langkah apa pun.
Tak kunjung ada pembayaran yang sangat dituntut oleh pihak Korea Selatan.
Sebelum Prabowo, Indonesia telah berupaya untuk melakukan negosiasi terkait kontribusinya dalam proyek tersebut.
Terhitung, Presiden Joko Widodo sudah melakukan lima pertemuan konsultatif tingkat tinggi dengan Korea Selatan pada 2018.
Jika merujuk pada persetujuan awal, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk membayar 1.733 triliun won (atau sekitar 1,45 miliar dolar AS).
Total utang Indonesia sendiri dalam proyek tersebut adalah sebesar 931,3 miliar won atau setara 779 juta dolar AS.
Dari total utang tersebut, Indonesia baru membayar 227,2 miliar won, atau kurang 704,1 miliar won (setara 589 juta dolar AS).
Badan Korea Selatan sendiri diketahui telah mengirim lima surat permohonan untuk kembali dilakukannya pembicaraan kerja sejak pertemuan terakhir dengan Prabowo, April.
"Sesuai dengan prinsip dan akal sehat, satu pihak tidak boleh dipaksa untuk membuat konsesi sepihak. Kita harus membawa situasi yang saling menguntungkan," kata Rep. Kang.(*)