Untuk memenangi pemilu, partai politik tahu mereka harus melakukan yang terbaik di wilayah yang disebut sebagai "pusatnya orang Melayu itu," di mana masyarakat cenderung memiliki pandangan keagamaan yang lebih konservatif. Parpol kerap berkampanye di wilayah-wilayah ini dengan janji untuk lebih keras lagi membela nilai-nilai Islam.
Dengan situasi politik Malaysia yang bergejolak baru-baru ini, dan ekonomi yang terpuruk karena Covid-19, sejumlah orang menduga serangan berlebihan kepada Nur Sajat lebih digerakkan oleh pemerintahan lemah yang berupaya mendapat dukungan banyak pemilih Muslim.
Tapi Nisha Ayub berpendapat, ini masih menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak transgender, terlepas dari pandangan Islam yang berbeda. Dia mengatakan bahwa negara Islam lainnya, seperti Pakistan dan Iran, telah mengubah peraturan terkait hal ini.
"Jika pemimpin kami mau mengakui minoritas sebagai bagian dari masyarakat, segalanya bisa berubah," katanya. "Semua diawali dari aturan yang perlu direformasi. Selama hukum secara khusus menargetkan komunitas kami, segalanya tidak akan pernah berubah."
Nur Sajat sangat merindukan putra dan putri adopsinya, yang sedang dalam pengasuhan keluarganya di Malaysia. Tapi dia mendapat kesempatan untuk berbagi pengalamannya dengan transgender lainnya di Australia. Rozana Isa, pendiri Sisters in Islam menyerukan warga Malaysia untuk ebih terbuka dan dewasa dalam bermedia sosial.
"Kenapa kita begitu menyalahkan Sajat? Dia tidak pernah melukai siapa pun dalam unggahannya, atau saat berada di Mekah. Kita malah harus mengawasi diri kita sendiri dari pada menghakimi orang lain."
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Desy Kurniasari |
Komentar