Menurutnya, relasi kuasa berupa perbedaan pangkat yang begitu jauh antara Bharada E dan Ferdy Sambo membuat adanya keterpaksaan untuk melaksanakan perintah eks Kadiv Propam Polri tersebut.
“Budaya laksanakan (perintah) itu adalah unsur yang paling kuat,” jelas Romo.
Perbedaan pangkat inilah yang juga membuat adanya dilema moral terhadap Bharada E untuk melaksanakan perintah Ferdy Sambo menembak Brigadir J.
Unsur meringankan yang kedua adalah adanya kerterbatasan waktu berpikir saat Bharada E memperoleh perintah dari Ferdy Sambo yang saat itu merupakan jenderal bintang dua.
Keterbatasan berpikir ini, kata Romo, membuat Bharada E mengalami kebingungan antara ingin melaksanakan atau menolak perintah dari Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J.
“Dia ( Bharada E) harus langsung bereaksi. Itu dua faktor yang secara etis yang meringankan,” katanya.
“Kebebabasan hati untuk mempertimbangkan dalam waktu berapa detik mungkin tidak ada,” lanjut Guru Besar Ilmu Filsafat tersebut.
Sementara menurut Reza, Bharada E bisa bebas separuh dari hukuman yang dijatuhkan karena adanya tekanan dalam melakukan penembakan.
Menurutnya, Bharada E saat melakukan penembakan berada dalam kondisi memahami apa yang diperbuatnya (cognitive competence).
Namun, Reza juga menganggap Bharada E berada dalam momen berada dalam tekanan berulang kali dari Ferdy Sambo untuk menembak tetapi enggan untuk melakukannya atau policial competence.
“Ketika cognitive competence-nya ada sementara kehendaknya (policial competence) katakanlah tidak ada, maka boleh jadi yang bersangkutan ( Bharada E) masuk dalam kategori partialy responsible atau bertanggungjawab separuh atas perbuatannya,” ujar Reza.