Perubahan itu dinilai menguntungkan bagi karyawan karena batas penghasilan terbawah yang dikenakan pajak semakin tinggi, sekaligus menunjukkan tidak terjadinya kenaikan tarif PPh bagi karyawan.
Dengan demikian, jika karyawan berpenghasilan Rp 5 juta per bulan dengan kondisi lajang atau belum berkeluarga, besaran pajak yang dibayarkan akan tetap sama baik menurut aturan baru UU HPP maupun aturan lama UU 36/2008.
Hitungannya, gaji setahun dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yakni sebesar Rp 54 juta. Hasil pengurangan itu kemudian dikenakan PPh berdasarkan tarif pada lapisan PKP yang ditetapkan pemerintah.
Rp 5 juta (penghasilan sebulan) x 12 bulan = Rp 60 juta (penghasilan setahun)
Rp 60 juta - Rp 54 juta (PTKP) = Rp 6 juta (penghasilan yang dikenai PPh)
Rp 6 juta x 5 persen (PKP lapisan pertama) = Rp 300.000 (PPh yang dibayar per tahun)
"Jadi (PPh yang dibayar per tahun) sebesar Rp 300.000 per tahun atau Rp 25.000 per bulan. Artinya pajaknya 0,5 persen, bukan 5 persen," jelas Sri Mulyani.
Dengan hitungan tersebut, maka pajak yang harus dibayarkan perbulan tak sampai setara tiga liter Pertalite.
"Kalau anda sudah punya istri dan tanggungan 1 anak. Gaji Rp 5 juta per bulan, tidak kena pajak," imbuh bendahara negara itu.
Malahan, lanjut dia, perubahan lapisan tarif PPh itu justru membuat kenaikan tarif PPh bagi orang kaya atau yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 5 miliar per tahun.
"Untuk yang punya gaji di atas Rp 5 miliar per tahun, bayar pajaknya 35 persen (naik dari sebelumnya 30 persen). Itu kita-kira pajaknya bisa mencapai Rp 1,75 miliar setahun! Besar ya..," tulis dia.
Sri Mulyani pun menyebutkan bahwa untuk usaha kecil yang omzet penjualan di bawah Rp 500 juta per tahun maka bebas pajak. Sedangkan untuk perusahaan besar yang mendapat keuntungan membayar pajak 22 persen.
Ia bilang, skema pajak tersebut sebagai upaya pemerintah mewujudkan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, uang yang didapat dari pungutan pajak juga dikembalikan ke masyarakat melalui berbagai program pemerintah.
Mulai dari pembangunan jalan raya, kereta api, internet, pesawat tempur, kapal selam, gaji prajurit dan polisi, hingga guru dan dokter.
"Mereka yang kemampuannya kecil dan lemah dibebaskan pajak, bahkan dibantu berbagai bantuan sosial, subsidi, tunjangan kesehatan, beasiswa pendidikan, dan lain-lain. Mereka yang kuat dan mampu, bayar pajak," tutup Sri Mulyani.
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Jabar |
Penulis | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar