Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Mengahadapi sebuah permasalahan seharusnya bisa diselesaikan oleh seseorang dengan pikiran yang jernih.
Pasalnya jika tak menyelesaikannya dengan pikiran jernih, seseorang bisa terjerumus pada hal-hal yang membahayakan diri sendiri.
Salah satu hal yang biasa dijumpai pada orang yang frustasi dengan masalah hidup dan tak bisa diselesaikan akan mengambil jalan bunuh diri.
Peristiwa bunuh diri sudah tak asing lagi dijumpai pada diri orang yang sedang mengidap depresi.
Belakangan ini, kota Bandung mendadak menjadi sorotan karena terdapat survei adanya angka bunuh diri yang cukup mengejutkan di kalangan mahasiswa.
Melansir dari Kompas.com, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat mengatakan, peristiwa tiga mahasiswa bunuh diri di sebuah perguruan tinggi dalam waktu tiga bulan menjadi bukti tingginya angka bunuh diri di kalangan mahasiswa.
“Sekaligus menjadi bukti kegagalan perguruan tinggi dalam memberikan perlindungan dan keamanan mahasiswanya,” ujar Teddy kepada Kompas.com di sela-sela World Mental Health Day di Bandung, Sabtu (12/10/2019).
Pasalnya kesehatan jiwa di kalangan akademisi hingga kini masih belum mendapatkan perhatian dan prioritas.
Padahal mahasiswa yang menjadi calon penerus bangsa ini menjadi prasyarat worl class university.
Teddy juga mengatakan sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2019 pada mahasiswa semester satu di perguruan tinggi kota Bandung, ditemukan 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Menurut Teddy, perilaku bunuh diri ini merupakan puncak dari depresi mahasiswa yang mengalami permasalahan hidupnya.
Salah satu permasalahan yang nampak dalam diri mahasiswa tentunya tak lain adalah masalah akademis seperti ketidakjelasan kelulusan dan ancaman drop out.
Selai itu faktor keuangan dan biaya hidup, hubungan dengan dosen, orangtua, serta pertemanan juga bisa menjadi titik munculnya masalah.
“Kendala lain yang tidak kalah penting adalah belum setiap perguruan tinggi memiliki tim konseling. Kalaupun sudah ada belum dimanfaatkan oleh mahasiswa,” tuturnya.
Hal lain yang mengherankan menurut Teddy adalah hingga kini BPJS tidak membiayai penderita bunuh diri karena dianggap penyakit yang dibuat sendiri.
Padahal banyak mahasiswa yang kehidupannya pas-pasan.
Jangankan berobat, untuk hidup sehari-hari saja kekurangan.
Baca Juga: Dengar Guyonan Surya Paloh, Wiranto Dikabarkan Tertawa Lepas, Sudah Sembuh?
Teddy juga menjelaskan perilaku bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan pleh penyebab atau alasan tunggal.
Perilaku bunuh diri diakibatkan interaksi dari faktor biologik, genetik, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di dunia, setiap tahunnya 800.000 orang meninggal karena bunuh diri atau setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri.
Di Indonesia, 10.000 orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri atau setiap satu jam satu orang meninggal bunuh diri.
“Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada kelompok remaja dan dewasa muda usia 15-29 tahun,” ucapnya.
Sebanyak 80-90 persen bunuh diri berhubungan dengan gangguan mental dan emosional terutama depresi.
Sekitar 40 persen penderita depresi berpikir serius untk bunuh diri, dan 15 persen melakukannya.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2018 dengan menggunakan alat ukur MINU untuk kelompok usia lebih dari 15 tahun angka prevalensi depresi di Indonesia 6,1 persen atau 11.315.500 orang, dan Jawa Barat 2.310.000.
Dari angka tersebut, 4.526.200 orang Indonesia memiliki ide serius bunuh diri dan 1.697.325 orang melakukannya.
Sedangkan untu Jabar 924.000 orang memiliki ide serius bunuh diri dan 346.500 orang melakukannya.
Namun, perilaku bunuh diri di kalangan akademisi masih bisa dicegah dengan advokasi pada pihak penentu kebijakan perguruan tinggi dan pemerintah daerah.
Hal ini dilakukan supaya pihak kampus mengakui kesehatan jiwa termasuk bunuh diri merupakan masalah yang memerlukan perhatian dan komitmenuntuk ditanggulangi.
Kemudian lakukan assesment dan mengidentifikasi permasalahan.
Lalu buat alur rujukan dan pelayanan termasuk pembiayaan mulai dari kampus hingga ke tepat pelayanan kesehatan jiwa.
“Ada kampus di Kota Bandung yang memberi layanan kesehatan jiwa untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan sebesar 50 persen. Bagi yang keuangannya terbatas dibebaskan biayanya,” ucapnya.
Upaya penting lainnya adalah pelatihan mental health first aid atau pertolongan pertama pada krisis mental dan bunuh diri.
Pelatihan singkat ini berjalan 8-16 jam.
Pelatihan dirancang bukan untuk melatih peserta menjadi terapis, tetapi memberi peserta pengetahuan mengenai tanda-tanda krisis mental seperti bunuh diri, mencederai diri, dan panik.
“Juga dipelajari keterampilan membantu seseorang yang tengah mengalami krisis mental sampai dapat diatasi,” pungkasnya.(*)