Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID - Tiga nelayanasal Indonesia ditawan kelompok teroris Abu Sayyaf sejak 24 September 2019.
Ketiganya diculik ketika tengah mencari ikan di perairan Lahad Datu, Malaysia.
Ketiganya adalah Maharudin Lunani (48) dan anaknya, Muhammad Farhan (27), serta kru kapal Samiun Maneu (27).
Dikutip dari Kompas.com, mereka berasal dari Baubau dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Penyanderaan ketiganya diketahui melalui rekaman video di laman Facebook.
Dalam video itu, para nelayan mengirim pesan agar Jokowi membebaskan mereka dengan membayar tebusan.
Baca Juga: Jadi Rebutan Orang Berduit di Malaysia, Plat Nomer Cantik Ini Ternyata Menyimpan Kode Rahasia
Dalam penculikan itu, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 8,3 miliar.
Pemerintah Indonesia pun kini tengah berupaya untuk membebaskan tiga nelayan tersebut.
Namun, pemerintah menyatakan tak bakal membayar tebusan Rp 8,3 miliar kepada kelompok milisi Abu Sayyaf.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, pemerintah masih bernegosiasi dalam membebaskan tiga nelayan WNI yang disandera di selatan Filipina itu.
"Sedang jalan nego-negonya untuk melakukan langkah-langkah penyelematan dan pembebasan tanpa mengorbankan satu jiwa pun, baik dari pihak penyandera maupun tersandera. Kita kan harus menyelematkan," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (9/12/2019).
Mahfud mengatakan, sampai saat ini kelompok Abu Sayyaf masih menutup diri.
"Ya kan minta tebusannya Rp 8,3 miliar kan, tapi kalau kita nuruti tebusan terus, masa kalah sama perampok," ujarnya.
Mahfud mengatakan, negara memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan warganya, termasuk terhadap tiga nelayan yang disandera.
"Pokoknya kita akan menyelamatkan karena negara harus bertanggung jawab atas keselamatan warganya," kata dia.
Pemerintah Indonesia menginginkan proses pembebasan ketiga nelayan itu tanpa menimbulkan hilangnya nyawa dan noda kedaulatan negara terkait.
"Selama ini untuk tetap berusaha membebaskan tersandera tanpa korban jiwa dan tanpa menodai kedaulatan negara kita maupun negara-negara yang bersangkutan," ujar Mahfud.
Namun, langkah tersebut dirahasiakan karena menyangkutnya jalannya operasi pembebasan.
"Tentu ini rahasia karena kalau dibuka itu namanya bukan sebuah tindakan untuk pembebasan. Pokoknya kami sudah kompak sudah punya solusi langkah dengan berbagai tahapannya," lanjutnya.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi menyatakan TNI siap menurunkan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI jika ada permintaan negara guna membantu pembebasan tiga WNI tersebut.
"Koopssus TNI siap dilibatkan dalam operasi bila ada permintaan dari negara terkait," ujar Sisriadi ketika dihubungi, Selasa (17/12/2019).
Koopssus TNI merupakan gabungan dari tiga matra, yakni darat, laut, dan udara.
Satuan elite ini dapat meningkatkan efektivitas TNI dalam merespons operasi khusus.
Namun, Sisriadi menyatakan diterjunkannya Koopssus TNI perlu ada keputusan dari negara.
"(Perlu) ada keputusan politik di negara kita. Sampai saat ini belum ada permintaan dan keputusan politik negara," katanya.
Melansir dari Antara, Pengamat intelijen Fauka Noor Farid menilai pasukan Kopassus TNI AD mampu membebaskan tiga nelayan yang ditawan kelompok Abu Sayyaf.
"Kalau tim Kopassus kita pasti sudah sangat siap. Indonesia kan sudah terkenal dengan perang gerilya, ini yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf juga sama," kata Fauka, di Jakarta, Rabu.
Tak hanya terlatih dalam perang gerilya, menurutnya, korps baret merah dinilai mampu membebaskan ketiga sandera dalam keadaan selamat.
Fauka menuturkan kiprah Kopassus dalam tugas pembebasan sandera di berbagai medan tak perlu diragukan karena sudah terbukti.
"Pada kondisi sesulit apa pun, contoh Mapenduma, itu sulitnya bagaimana. Tapi Kopassus mampu untuk membebaskan. Meskipun ada korban, tapi kecil," ujar mantan prajurit Kopassus ini pula.
Mengenai waktu pembebasan, mantan anggota Tim Mawar ini menyebut waktu yang dibutuhkan anggota Kopassus untuk pembebasan tak sampai 10 menit.
Keyakinannya didasari gemblengan keras selama tergabung dalam Kopassus yang memang dituntut siap menghadapi segala medan.
"Kalau kita diajarkan di Kopassus, pembebasan tawanan enggak ada sampai 10 menit. Enggak ada 10 menit, paling lama 15 menit. Habis itu pelolosan. Kalau Kopassus diturunkan," kata Fauka.
Namun, keberhasilan setiap misi pembebasan tergantung dari informasi yang diberikan intelijen sebelum melaksanakan tugas.
Menurut Fauka, Badan Intelijen Negara (BIN) diyakini sudah bergerak dan mengantongi informasi terkait kelompok Abu Sayyaf karena kehebatan pasukan pembebasan tak berarti bila tak punya informasi lengkap terkait musuh yang dihadapi.
"Kami bergerak kalau informasi sudah A1. A1 tentang tentang jumlah, posisi, medan, keamanan yang menyandera. Di situ kita bisa tahu, ditentukan struktur pasukan," ujar Fauka.
Direktur Institute Kajian Pertahanan dan Inteligen Indonesia atau IKAPII itu menyebut, peran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Kepala BIN Budi Gunawan sangat penting.
Baca Juga: Dilempari Air Kencing Hingga Berakhir Ricuh di Stadion GBK, Malaysia Akan Laporkan Indonesia ke FIFA
Alasannya, Prabowo memiliki kemampuan pengalaman dalam kasus pembebasan dan kewenangan mengerahkan Kopassus.
Sedangkan Budi Gunawan sebagai pemimpin BIN memiliki jajaran yang sudah bergerak mengumpulkan segala informasi terkait kelompok Abu Sayyaf.
"Dipastikan berhasil, Insya Allah berhasil. Saya yakin, karena Pak Prabowo punya pengalaman, BG pun punya pengalaman. Kunci pembebasan sandera pertama intelijen, kedua gerakan pasukan," ujarnya pula.
(*)