Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari
Gridhot.ID - Kasus kejahatan di dunia maya (cyber crime) semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Belum lama sejak sejumlah situs e-commerce seperti Bukalapak dan Tokopedia diretas dan data-datanya dijual.
Kali ini, publik dikejutkan dengan kabar bahwa data-data anggota kepolisian berhasil dibobol.
Tak hanya dibobol, data tersebut bahkan dijual secara bebas.
Melansir akun Twitter @secgron, pemilik akun tersebut meminta agar Polri bebenah lantaran seseorang telah berhasil membobol data dari seluruh anggota Polri.
Tak hanya meminta hal tersebut kepada Polri, akun tersebut pun memberikan contoh data yang berhasil dibobol.
"Halo @DivHumas_Polri saatnya berbenah. Seseorang mengklaim sudah berhasil membobol data seluruh anggota Polri. Orang ini kemudian dengan mudahnya bisa mengakses, mencari dan mengganti data anggota Polri tersebut.
Contohnya ini, baru mutasi ke Densus 88 eh datanya udah bocor :(," cuit akun tersebut.
Adapun data-data tersebut rupanya diperjualbelikan dalam sebuah situs oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam situs jual beli, data tersebut dijual oleh akun yang bernama hojatking.
Untuk dapat mengakses ke aplikasi yang memiliki data yang dikatakan milik Polri tersebut, diperlukan uang sebanyak Rp 17 juta.
Sementara itu, untuk bug pada aplikasi tersebut dijual seharga Rp 28,5 juta.
"Akses ke aplikasi untuk mengakses dan mengganti data tersebut dijual seharga $1.200 USD atau setara 17 juta rupiah. untuk informasi bug pada aplikasi tersebut dijual seharga $2.000 USD atau setara 28,5 juta rupiah," tulis akun Twitter tersebut.
Namun, bagaimana hukum yang berlaku bagi para peretas?
Dilansir dari laman hukumonline.com, di Indonesia, aturan soal peretasan telah dimuat dalam Undang-Undang (UU) 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).
Dalam konteks masalah keamanan sistem elektronik/informasi, peretas seringkali bersifat aktif atau sengaja, yang bertujuan untuk mengecoh atau bahkan merusak sistem. Meskipun akhirnya melaporkan kepada perusahaan sebagai penyelenggara sistem elektronik, namun aktivitas tersebut ilegal karena dilakukan tanpa hak. Aktivitas tersebut melawan hukum dan secara awam dikategorikan sebagai kejahatan, karena bertentangan dengan Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE.
Pasal 30 UU ITE
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 46 UU ITE
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Sementara itu, dilansir Gridhot dari akun Instagram @ccicpolri milik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri, Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) kini tengah dalam pembahasan.
Dalam RUU ini, data pribadi dibagi menjadi dua macam.
Pertama, data yang bersifat umum dan spesifik yang berupa nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, maupun agama, atau data pribadi yang harus dikombinasikan sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik.
Kedua, data pribadi yang bersifat spesifik berupa data biometrik dan data genetika yang memiliki resiko tinggi terhadap hak dan kebebasan Pemilik Data Pribadi.
Dalam Bab XIII Pasal 61 ayat 2 yang berbunyi bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)".
(*)