GridHot.ID - Beberapa waktu lalu pemerintah berhasil mengekstradisi buron kasus pembobolan Bank BNI, Maria Pauline Lumowa.
Ia diketahui diekstradisi dari Serbia.
Namun, selain Maria, rupanya terdapat 4 orang lain yang fenomenal dengan kasus penjarahan bank.
Bahkan salah satunya hingga kini menjadi buron terlama dan belum tertangkap.
Berikut catatan lima orang pembobol bank dengan hasil uang jarahan terbesar di Indonesia yang pernah diulas KONTAN.
Maria Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa terlibat kasus pembobolan BNI melalui Letter og Credit atau L/C bodong senilai Rp 1,7 triliun yang melibatkan sejumlah bankir dan pengusaha lainnya.
Kasus Maria Pauline Lumowa ini kemudian menyeret pejabat kepolisian Komjen Pol. Suyitno Landung dengan tuduhan menerima suap mobil, dan Brigjen Pol. Samuel Ismoko yang menerima cek dari Adrian Waworuntu, kolega dari Maria Pauline.
Selanjutnya Hakim Ibrahim juga ikut terseret kasus Maria Pauline Lumowa ini karena tertangkap tangan oleh petugas KPK , sesaat setelah menerima tas plastik berisi uang Rp 300 juta.
Modus pembobolan Bank BNI oleh Maria Pauline Lumowa cs itu dilakukan dengan pengajuan 41 L/C, yang dilampirkan dengan delapan dokumen ekspor fiktif, yang seolah-olah perusahaan itu telah melakukan ekspor.
Maria Maria Pauline Lumowa melarikan diri ke Singapura sebelum kemudian diketahui menetap di Negeri Kincir Angin Belanda.
Buron Maria Pauline Lumowa sempat bermukim dan menjadi warga negara Belanda Pemerintah Indonesia dipastikan tidak dapat melakukan ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa, pasalnya, ternyata Maria Pauline Lumowa telah resmi menjadi warga negara Belanda.
Dalam catatan KONTAN, Indonesia memiliki sejarah kelam tentang korupsi. Banyak para pelaku tindakan kejahatan korupsi ini yag tertangkap, tapi banyak pula yang setelah tertangkap kemudian misterius. Para tersangka entah menghilang kemana.
Seringkali pula, ketika para koruptor ini tertangkap, sebelum di meja hijaukan keburu lenyap seperti di telan bumi. Padahal korupsi itu tindakan itu menyengsarakan rakyat, karena yang uang yang dikorupnya itu adalah uang negara. Yaitu uang dari rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Berikut ini 5 koruptor kakap dengan uang jarahan paling besar di Indonesia.
Selain kasus Maria Pauline Lumowa ada beberapa buron kasus korupsi dengan harta jarahan yang super jumbo di Indonesia ada yang sudah tertangkap dan masih menjadi buron abadi.
Selain Maria Lauline ada David Nusawijaya.
David Nusawijaya (Ng Tjuen Wie)
David Nusawijaya (Ng Tjuen Wie) adalah pria kelahiran Jakarta, 27 September 1961. David Nusawijaya alias Ng Tjuen Wie adalah Direktur Utama Bank Umum Servitia yang diduga melakukan korupsi senilai Rp 1,2 triliun.
David Nusawijaya menjabat sebagai Direktur Utama Bank Umum Servitia (BUS) pada tahun 1998-1999 dan merupakan terpidana dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BUS sejumlah Rp. 1,291 triliun.
Pada 11 Maret 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menghukumnya tiga tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta pada 21 Mei 2002 memvonisnya dengan empat tahun penjara, disertai denda dan pembayaran uang pengganti.
Kemudian pada 23 Juli 2003, Mahkamah Agung memvonisnya hukuman penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp. 30 juta serta membayar uang pengganti sebesar Rp 1,291 triliun, namun David berhasil melarikan diri sebelum dieksekusi dan menjadi salah seorang 12 buronan kakap Indonesia yang berada di luar negeri.
Dalam sebuah operasi yang dilakukan Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI) pada 13 Januari 2006 di Amerika Serikat, ia berhasil ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia empat hari kemudian.
Selain David Nusawijaya ada Andrian Kiki Ariawan.
Andrian Kiki Ariawan
Andrian Kiki Ariawan lahir di Jakarta, 28 April 1944. Jabatan Terakhir Andrian Kiki Ariawan sebagai Direktur Utama PT Bank Surya Nilai Korupsi Andrian Kiki Ariawan Rp 1,5 triliun
Posisi kasus Andrian Kiki Ariawan adalah sekitar tahun 1989 sampai dengan 1998 bertempat di Kantor PT. Bank Surya di Jl. Thamrin Kav. 9 Jakarta Pusat.
Andrian Kiki Ariawan bersama dengan terpidana Bambang Sutrisno telah divonis merugikan keuangan negara dengan cara memberikan persetujuan kredit kepada 166 perusahaan yang dibentuk oleh dan atau dibawah kendali Bambang Sutrisno yang tidak melakukan kegiatan operasional/paper company.
Pada kasus ini Andrian Kiki Ariawan telah merugikan negara dengan total hampir Rp 2 triliun.
Andrian Kiki Ariawan mulai disidangkan secara In Absentia. Namun ia tidak dapat dieksekusi badan saat putusan karena yang bersangkutan melarikan diri ke Australia. Padahal kasus Andrian Kiki Ariawan sudah memiliki Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 71/Pid/2003/PT.DKI tanggal 2 Juni 2003 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Akhirnya, pemerintah bisa mengekstradisi Andrian Kiki Ariawan bisa diekstradisi dari Australia ke Indonesia.
Penyerahan Adrian Kiki Ariawan dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Escorting Officers dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2014 bertempat di dalam Pesawat Garuda.
Dalam perjalanan dari Perth, Australia ke Indonesia, Adrian Kiki Ariawan dikawal oleh Escorting Officers yaitu AKBP Dadang Sutrasno dan AKBP Jajang Ruhyat, yang keduanya adalah perwira pada NCB INTERPOL Indonesia.
Selain Andrian Kiki Ariawan, ada kasus korupsi Eko Adi Putranto.
Eko Adi Putranto
Eko Adi Putranto lahir di Jakarta, 09 Maret 1967. Jabatan Terakhir Eko Adi Putranto Komisaris Bank BHS. Nilai Korupsi Eko Adi Putranto mencapai Rp 2,659 triliun.
Eko Adi Putranto merupakan salah satu direktur BHS. Eko Adi Putranto adalah anak dari Hendra Rahardja pemilik BHS.
Eko Adi Putranto terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Hakim memvonis Eko Adi Putranto dengan hukuman 20 tahun penjara dan harus membayar denda sebesar Rp 30 juta.
Kasus korupsi Eko Adi Putranto ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
Modus yang dipakai dalam kejahatan korupsi Eko Adi Putranto adalah, pemberian kredit kepada perusahaan group.
Selain itu juga memberikan persetujuan untuk memberikan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa alias bodong.
Karena kredit tersebut oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan group dengan cara dialihkan /disalurkan dengan menerbitkan giro kepada perusahaan group, tanpa melalui proses administrasi kredit dan tidak dicatat /dibukukan dan selanjutnya beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada PT. BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan group.
Eko Adi Putranto disidangkan secara In Absentia, tidak dapat di eksekusi badan sesuai putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 125/PID/2002/PT. DKI tanggal 8 Nopember 2002 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena terpidana melarikan diri.
Selain Eko Adi Putranto, ada kasus yang maha dahsyat dan bersejarah di Indonesia yakni buron Eddy Tansil.
Eddy Tansil (Tan Tjoe Hong)
Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong adalah taipan yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1953. Jabatan Terakhir Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong adalah Pemilik Golden Key Group.
Nilai Korupsi Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong pada masa pemerintahan Presiden Soeharto ini mencapain Rp 9 triliun.
Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari penjara Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996.
Saat itu Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar US$ 565 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu yang didapatkan Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong melalui kredit Bank Bapindo kepada grup perusahaan Golden Key Group.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, serta membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun.
Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong untuk melarikan diri.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di provinsi Fujian, China.
Pada tanggal 29 Oktober 2007, sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong.
Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.
Pada akhir 2013, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Eddy Tansil telah terlacak keberadaannya di China sejak tahun 2011 dan permohonan ekstradisi telah diajukan kepada pemerintah China. Hanya saja hingga saat ini belum ada hasilnya.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judulSelain Maria Pauline Lumowa ini daftar penjarah bank yang fenomenal di Indonesia(*)