GridHot.ID - Supriansa mengkritik keprofesionalan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus korupsi.
Dilansir dari Tribunnews.com, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar itu, tuntutan JPUterhadap terpidana kasus korupsi kini semakin ringan, dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Saya melihat profesionalisme yang ada di kubu Kejaksaan menempatkan tuntutan terhadap orang-orang tersangka, saya melihat belum profesional Kejaksaan Agung selama ini," ujar Supriansa saat rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (26/1/2021).
Supriansa mencontohkan, tuntutan yang diberikan kepada terdakwa kasus suap Djoko Tjandra yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari hanya empat tahun dan subsider Rp 500 juta enam bulan kurungan.
Jika dibandingkan tuntutan JPU kepada Jaksa Urip Tri Gunawan, kata Supriansa, pada waktu itu jauh lebih tinggi yaitu dituntut 15 tahun terkait suap Rp 6 miliar.
"Ini mempertontonkan bahwa kita tidak profesional dalam menempatkan kasus Urip pada 2008, Pinangki pada 2019-2020. Semestinya, semakin hari semakin tinggi tuntutan, tetapi justru semakin rendah dengan kasus dengan nilai yang sama," tutur Supriansa.
Supriansa menyebut, seharusnya Pinangki mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari Urip karena telah melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji yaitu pelanggaran pasal 12 huruf A sebagai pegawai negeri, atau penyelenggara negara.
"Harapan kita itu yang harusnya lebih berat, apalagi bertemu dengan sang buronan. Kalau saya Jaksa Agung waktu itu pak, saya mengundurkan diri karena saya tidak bisa membina saya punya anak-anak di bawah sebagai pertanggungjawaban moral kepada publik," tuturnya.
Diketahui sebelumnya, Jaksa Pinangki Sirna Malasari dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai, Pinangki terbukti menerima suap.
Selain itu, Pinangki juga terbukti melakukan pencucian uang sekaligus pemufakatan jahat terkait kasus kepengurusan fatwa di Mahkamah Angung (MA).
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah," kata JPU Yanuar Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/1/2021), dikutip dari Kompas.com.
Hal yang memberatkan adalah sebagai aparat penegak hukum, Pinangki dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sementara, hal yang meringankan adalah Pinangki belum pernah dihukum, menyesali perbuatan dan berjanji tidak mengulanginya, serta mempunyai anak berusia 4 tahun.
Pinangki pun dinilai melanggar Pasal 11 UU Nonor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 15 jo Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor.
Dalam dakwaan pertama, Pinangki dinilai terbukti menerima suap sebesar 450.000 dollar AS atau sekitar Rp 6,6 miliar dari terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Suap itu diduga terkait kepengurusan fatwa di MA Adapun fatwa menjadi upaya agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi dalam kasus Bank Bali sehingga dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara.
Kemudian, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang dari suap yang diberikan Djoko Tjandra.
Uang itu disebut digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar tagihan kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan.
"Sehingga unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara meningat kedudukan dalam jabatannya telah terpenuhi secara sah menurut hukum," kata jaksa Yanuar.
Atas tuntutan itu, Pinangki bakal mengajukan nota pembelaan atau pleidoi di sidang berikutnya, pada 18 Januari 2021.
(*)