Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID - Tersangka provokasi kerusuhan Papua, Veronica Koman hingga saat ini masih menjadi buronan polisi.
Veronica Koman dijerat sejumlah pasal yaitu UU ITE, UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, KUHP Pasal 160, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Meski diburu polisi,Veronica Koman mengatakan akan terus menyuarakan pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dialami rakyat Papua.
Dilansir dari ABC Australia, Veronica telah meminta kepada pihak keluarganya untuk bersabar karena persoalan yang dialami rakyat di Papua jauh lebih berat.
"Saya tidak akan berhenti," kata Veronica dalam wawancara khusus dengan program The World ABC TV yang tayang pada Kamis (3/10/2019).
Perempuan 31 tahun itu punmembantah telah menyebarkan rekaman dan informasi soal Papua di sosial media untuk memperkeruh suasana.
Veronicamengaku bahwa dirinya telah menyaring segala informasi yang disebarkannya.
"Misalnya saat terjadi kerusuhan di Wamena, saya sangat berhati-hati untuk tidak menyebarkan rekaman yang melibatkan konflik horizontal antara penduduk asli dan pendatang. Saya sangat berhati-hati mengenai hal itu," katanya.
Bahkan, Veronica kini justru menerima penghargaan 'Sir Ronald Wilson Human Rights Award' karena keberaniannya mengungkap pelanggaran HAM di Papua.
Dikutip dari laman abc.net.au, penghargaan kepada Veronica diberikan oleh Australian Council for International Development (ACFID), Rabu (23/10/2019) di kota Sydney.
"Saya mendedikasikan penghargaan ini kepada para korban tindakan keras yang dimulai akhir Agustus di Papua Barat," kata Veronica setelah menerima penghargaan.
"Khususnya belasan orang yang tewas di tangan pasukan keamanan dan 22 tahanan politik yang dituduh melakukan pengkhianatan."
Veronica juga mengucapkan terima kasih kepada rakyat Papua yang telah "mengubah kehidupannya."
Veronica juga mengatakan suara rakyat Papua tidak akan lagi teredam di dunia internasional.
Pasalnya, Veronica terus melaporkan tindak kekerasan yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Termasuk mengunggah video penemuan mayat-mayat di Nduga yang menurutnya "diduga ditembak TNI" pada 20 September lalu.
ACFID menganggap Veronica telah mengorbankan dirinya sendiri untuk terus melaporkan pelanggaran hak asasi di Papua, meski mendapat ancaman dan intimidasi.
"Penghargaan ini mewakili kekuatan dan keberanian semua orang yang telah membela hak asasi orang Papua Barat," ujar Marc Purcell, Direktur Eksekutif ACFID.
Marc menambahkan penghargaan yang diberikan kepada Veronica juga mewakili mereka yang terus berupaya agarHAM selalu dilindungi dan ditegakkan.
Dengan diberikannya penghargaan ini, ACFID telah meminta pemerintah Australia untuk memberikan perlindungan bagi Veronica, karena sekarang menyandang predikat "pembela hak asasi manusia".
Lembaga tersebut juga meminta Komisi HAM di PBB dan Pemerintah Australia agar mendorong Indonesia membatalkan semua tuduhan kepada Veronica, serta melindungi kebebasan untuk melaporkan apa yang terjadi di Papua.
Di akun Facebook, Veronica pernah mengatakan mendapat intimidasi dan menganggap kepolisian Indonesia telah melakukan "pembunuhan karakter" terhadap dirinya.
Pekan lalu, pemerintah Indonesia telah membentuk lembaga yang akan menyalurkan dana bantuan ke negara-negara miskin, khusunya di kawasan Pasifik.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan di Australia, karena Indonesia adalah negara terbesar kedua penerima dana pembangunan Australia setelah Papua Nugini untuk bidang pendidikan, infrastruktur, pertanian, dan pemerintahan.
"Bisa jadi langkah ini adalah sebagai upaya pemerintah Indonesia "meredam dukungan di negara-negara Pasifik kepada Papua dan Papua Barat," kata Veronica kepada ABC.
(*)