Gridhot.ID - Timor Leste lepas dari Indonesia sebagai hasil referendum 1999 yang menunjukkan mayoritas warga menginginkan kemerdekaan.
Namun, hingga beberapa dekade setelah kemerdekaannya, masih tampak gambaran anak-anak Timor Leste kekurangan gizi.
Disintegrasi hukum dan ketertiban, serta tidak adanya layanan sosial pun masih terjadi.
Salah satunya tampak melalui kondisi sebuah TPA di Timor Leste, yaitu TPA Tibar dekat ibu kota, yang masih memprihatinkan dan tidak banyak berubah.
Melansir Aljazeera (19/11/2017), para pemulung berusia sekitar 8 tahun masih mencari nafkah dalam kondisi tak terbayangkan di TPA Tibar.
Gambaran seperti itulah yang pada tahun 1999, memicu kemarahan publik yang meluas di seluruh dunia dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian internasional ke Timor Leste setelah anarki meletus menyusul referendum kemerdekaan negara tersebut untuk meninggalkan Indonesia.
TPA Tibar merupakan tempat pembuangan sampah yang tidak diatur, digunakan untuk sebagian besar sampah di Dili.
Sampah-sampah yang dibuang di sana termasuk asbes mematikan dan limbah rumah sakit yang tidak diolah.
Situs seluas 7 hektar yang terletak di perut lembah yang curam tersebut merupakan bencana lingkungan dan kesehatan masyarakat di Timor Leste.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar 100 ton limbah berbahaya diproduksi setiap tahun di Dili dari kegiatan perawatan kesehatan saja.
Karena tidak ada fasilitas pengolahan atau pembuangan terpusat yang tersedia untuk limbah semacam itu, limbah rumah sakit cukup sering dibuang bersama limbah kota di Tibar.
Kondisi TPA Tibar begitu memprihatinkan.
Hal pertama yang menarik perhatian pengunjung ke TPA Tibar adalah asap hitam tajam yang dikeluarkan oleh api yang dibuat pemulung untuk melelehkan plastik dari barang-barang seperti mesin cuci dan kursi yang kemudian dapat dijual sebagai besi tua.
Seperti itulah yang dirasakan oleh seorang turis dari Australia, Chris Kaley.
"Asapnya benar-benar mengejutkan saya. Ini nyata-tumpukan membara 24/7," kata Kaley yang mengunjungi tempat pembuangan sampah bersama Bruce Logan, salah satu pemilik Australia dari Beachside Hotel di Dili.
Sementara Logan mengaku rutin pergi ke TPA tersebut, bukan hanya untuk membuang sampah tapi juga memberikan tamunya sebuah 'tur'.
"Saya datang ke sini sekali atau dua kali seminggu untuk membuang sampah. Saya juga membawa tamu kami yang tertarik untuk melihat bagaimana separuh lainnya hidup," kata Logan.
Bahkan, Logan memiliki sebutan khusus untuk tur yang diadakannya ke TPA terebut.
"Saya menyebutnya 'tur berhenti-mengomel' karena datang ke sini memberi Anda gambaran nyata tentang hal-hal sepele yang dikeluhkan orang di Australia," katanya.
Dengan kondisi berbahaya itu, para pemulung tetap datang ke sana demi mencari nafkah.
Saat Chris Kaley dan Bruce Logan mengunjungi TPA tersebut, ada pula setidaknya 20 pemulung yang sedang bekerja, menurut Aljazeera.
Diantaranya para pemulung itu adalah Domingos, pria berusia 61 tahun yang bekerja di TPA selama 6 bulan.
"Yang berharga adalah botol dan kaleng, Jika saya mengumpulkan banyak kaleng, saya bisa menjualnya seharga $ 1," katanya.
Bahkan, diantara pemulung itu terdapat anak-anak, termasuk seorang gadis berusia 8 tahun bernama Vanya.
Dia mengaku telah bekerja di sana sepanjang hidupnya.
"Saya suka di sini karena saya bisa bersama orang tua dan teman-teman saya," katanya.
Vanya mengaku bersekolah, tetapi ketika ditanya mengapa ia tidak pergi sekolah saat itu, ia tak menjawab.
Sementara itu, Bio seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, penuh dengan kotoran, juga mengatakan ia belajar "di sore hari".
Mengutip Aljazeera, pada saat itu, sebuah kaleng aerosol yang tersembunyi di tumpukan terbakar di belakang kedua anak itu meledak.
Ledakan kaleng aerosol mengeluarkan suara gemuruh yang menusuk telinga.
Saat tim reporter tersentak ketakutan, Bio dan Vanya justru hanya tersenyum.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul: "Tempat Pembuangan Sampah di Timor Leste, Dulu Jadi Alasan Merdeka, Kini Jadi Lokasi Tur."
(*)
Source | : | Intisari Online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Candra Mega Sari |
Komentar