Gridhot.ID - Hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diperberat oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta di tingkat banding.
Mengutip Kompas.com, majelis hakim PT DKI Jakarta menjatuhkan pidana penjara 9 tahun untuk Edhy Prabowo.
"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam dakwaan alternatif pertama," demikian bunyi amar putusan yang dikutip dari situs Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Kamis (11/11/2021).
Selain pidana penjara, Edhy diwajibkan membayar denda Rp 400 juta yang dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan.
Majelis hakim tingkat banding juga menetapkan pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka akan dipidana selama 3 tahun," ucap hakim.
Selain itu, majelis hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun.
Adapun putusan nomor 30/PID.TPK/2021/PT DKI itu dibacakan pada 1 November 2021 oleh hakim ketua Haryono bersama dengan 2 hakim anggota, yaitu Reny Halida dan Branthon Saragih.
Dalam perkara ini, Edhy dinilai terbukti menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL).
Ia terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar dari para eksportir BBL. Di pengadilan tingkat pertama, Edhy divonis 5 tahun penjara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menambah hukuman Edhy, dari 5 tahun menjadi 9 tahun penjara.
Namun bagi ICW, hukuman itu belum cukup memberikan efek jera kepada Edhy.
"Mestinya pada tingkat banding, hukuman Edhy diubah menjadi 20 tahun penjara. Dendanya dinaikkan menjadi Rp1 miliar, dan hak politiknya dicabut selama 5 tahun," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana ditemui Wartakota, Jumat (12/11/2021).
Ada sejumlah alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memenjerakan Edhy selama 20 tahun.
Pertama urai Kurnia, Edhy melakukan kejahatan korupsi saat menduduki posisi sebagai pejabat publik.
Kedua, praktik korupsi suap ekspor benih lobster terjadi saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19.
Ketiga hingga proses banding, Edhy tidak kunjung mengakui perbuatannya.
Putusan banding ini, menurut Kurnia, selain mengonfirmasi kekeliruan putusan tingkat pertama, juga menggambarkan betapa rendahnya tuntutan yang dilayangkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy.
"Bagaimana tidak? Pasal yang digunakan oleh KPK sebenarnya memungkinkan untuk menjerat Edhy hingga hukuman maksimal, namun pada faktanya hanya 5 tahun penjara," tuturnya.
Ke depan, Kurnia mengatakan, jika Edhy mengajukan kasasi, penting bagi Komisi Yudisial (KY) mengawasi proses persidangan tersebut.
"Jangan sampai putusan kasasi nanti meringankan kembali hukuman Edhy Prabowo dengan alasan yang mengada-ngada," ucapnya.
(*)