"Puncaknya, pada akhir tahun 2019, Kejaksaan RI Depok berencana mengeksekusi harta yang dirampas negara tersebut. Putusan tersebut sangat tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat, baik bagi terpidana maupun puluhan ribu calon jemaah," jelas Boris Tampubolon, dikutip dari Tribunsolo.com, Sabtu (26/3/2022).
"Saat ini, satu-satunya jalan untuk mengobati rasa keadilan dan mewujudkan tujuan penegakan hukum pada perkara First Travel adalah melalui upaya hukum luar biasa, PK (peninjauan kembali)," imbuhnya, dikutip dari Tribunsolo.com, Sabtu (26/3/2022).
Boris Tampubolon mengklaim, pengajuan PK ini dilakukan agar penegakan hukum 'mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam masyarakat'.
Ia mengaku bahwa upaya ini sebagai bentuk kepedulian, selain terhadap terpidana, juga terhadap 63.000 Calon Jemaah Haji dan umrah First Travel yang tak memperoleh ganti rugi apapun.
Pasalnya, lanjut Boris Tampubolon, para korban First Travel sudah menempuh berbagai upaya.
Mulai dari memproses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga dengan menyepakati adanya perdamaian, serta melaporkan ke Bareskrim Polri dengan harapan agar para calon jemaah masih tetap bisa diberangkatkan ke Tanah Suci.
"Atau setidaknya uang yang telah mereka setorkan kepada First Travel bisa dikembalikan," kata Boris Tampubolon, dikutip dari Tribunsolo.com, Sabtu (26/3/2022).
"Nyatanya, proses penegakan hukum yang berjalan sejak Agustus 2018 hingga akhirnya keluar putusan Mahkamah Agung 31 Januari 2019, memupus semua harapan itu. Para terpidana dihukum dengan hukuman fantastis, dan harta yang disita dirampas untuk negara alih-alih dikembalikan kepada jemaah," jelasnya, dikutip dari Tribunsolo.com, Sabtu (26/3/2022). (*)
Source | : | TribunSolo.com,TribunStyle.com |
Penulis | : | Egista Hidayah |
Editor | : | Dewi Lusmawati |
Komentar