Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Senin (9/11/2020), Irjen Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Sidang kali ini beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Mengutip Kompas.com, hal itu disampaikan oleh kuasa hukum Napoleon, Haposan P Batubara.
"Jam 10 kami membacakan eksepsi di PN Jakpus," kata kuasa hukum Napoleon, Haposan P Batubara, ketika dikonfirmasi, Senin (9/11/2020).
Selain Napoleon, terdakwa lain dalam kasus yang sama, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, juga akan menjalani sidang pada hari ini.
Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, agenda sidang terdakwa Prasetijo adalah pemeriksaan saksi dari JPU.
Adapun Prasetijo tidak mengajukan eksepsi sehingga sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi.
Dalam kasus ini, Napoleon didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
Sementara, JPU mendakwa Prasetijo menerima uang sebesar 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar dalam kasus tersebut.
Kasus red notice bermula dari keinginan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang menjeratnya.
Padahal, kala itu Djoko Tjandra masih berstatus sebagai buronan.
Melansir Tribunnews.com, tim penasihat hukum Irjen Napoleon Bonaparte, terdakwa kasus penghapusan Red Notice buronan korupsi Djoko Tjandra, menyatakan perkara yang menjerat kliennya merupakan rekayasa.
Mereka menyinggung sejumlah catatan kwitansi tanda terima uang yang tidak secara jelas menyebutkan maksud dari pemberian uang sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
"Penerimaan uang sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS untuk pengurusan penghapusan red notice adalah merupakan rekayasa perkara palsu," ucap tim kuasa hukum Napoleon, Santrawan T Pangarang, saat membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/11/2020).
Santrawan berpendapat, dengan tidak adanya penjelasan mengenai maksud pemberian uang, maka penyidik Bareskrim Polri dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa menafsirkan seolah-olah uang diberikan agar Napoleon selaku mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri menghapus daftar buronan Djoko Tjandra.
"Keberadaan kwitansi tanda terima uang baik secara langsung maupun tidak langsung sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte," katanya.
Hal tersebut, lanjut Santrawan, diperkuat dengan keterangan sejumlah saksi dalam proses penyidikan, seperti Djoko Tjandra, Nurmawan Fransisca, Nurdin, dan Prasetijo Utomo.
Ia mengutip Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Djoko Tjandra tanggal 6 Agustus 2020 yang menurutnya tidak ditemukan fakta uang tersebut diberikan kepada Napoleon.
"Bahwa tidak ada keterangan kesaksian yang termuat di dalam keseluruhan BAP dari saksi Joko Soegiarto Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari ia terdakwa terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kwitansi tanggal 27,28,29 April 2020, serta 4 Mei, 12 dan 22 Mei 2020,"
Selain itu, ia mengutip BAP Prasetijo tanggal 13 Agustus 2020 yang pada pokoknya menyatakan tidak tahu-menahu perihal penyerahan uang sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko melalui Tommy Sumardi kepada Napoleon.
"Saya tidak tahu tentang hal tersebut," kata Santrawan membacakan BAP Prasetijo.
Berdasarkan hal tersebut, Santrawan meminta majelis hakim mengabulkan seluruh eksepsi dan menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum.
"Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk segera melepaskan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte dari dalam tahanan," ujar Santrawan.
Sementara itu, dilansir dari Antaranews, Napoleon merasa dizalimi oleh pernyataan pejabat negara terkait tuduhan penghapusan red notice.
"Dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan-pemberitaan 'statement' pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus 'red notice'," kata Napoleon dalam sidang Senin (9/11/2020).
"Kesempatan hari ini sudah lama saya tunggu-tunggu Yang Mulia karena sebagai Kadivhubinter Polri yang dulu juga mantan Sekretaris NCB (National Central Bureau) Interpol Indonesia. Kami yang paling tahu kerja Interpol," ungkap Napoleon.
Napoleon merasa tuduhan tersebut membuatnya tidak mungkin menyampaikan jawaban karena hanya akan dianggap pembenaran diri.
"Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan apa yang dieksepsi, tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," ujar Napoleon.(*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com,Antaranews |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Dewi Lusmawati |
Komentar